Dua orang pengunjug mandi di Aek Sipangolu sambil memanjatkan doa baik kepada Tuhan. (Parada Al Muqtadir)
Mirip seperti kisah air Zam-zam,
Aek Sipangolu dalam bahasa batak bermakna air penyelamat.
Dipercaya sebagai air suci, penyembuh penyakit
Muasalnya, terbentuk dari dari hentakan tongkat Sisingamangaraja
Hingga letusan gunung toba 800 Ribu tahun lalu
—
Memiliki Landskap seperti Lembah Styn di Norwegia, Bakkara bukan mengandalkan ke molekan, alamnya saja. Sejarah dan budayanya menyatu pada kisah-kisah yang diyakini hingga kini.
Karena alasan itu, di awal November 2020, kami menjelajah ke sana. Membutuhkan waktu 6 jam perjalanan darat dari Kota Medan. Bakkara merupakan nama kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara.
Baru tiba di Bakkara. Kami disambut pemukiman penduduk dalam bingkai alam. Di apit dua bukit dengan hamparan sawah menghadap Danau Toba. Spot ini yang dulunya sempat viral karena dikira lembah Styn Norwegia.
Lanskap Lembah Bakkara dengan keindahan yang luar biasa. (Parada Al Muqtadir)
Berada di Bakkara seperti disajikan taman alam yang tidak berkesudahan. Setiap sisi yang kami lalui disuguhi pemandangan danau, bukit, dinding kaldera dan lahan pertanian yang memukau.
Tiba di Bakkara Pukul 09.00 WIB. Kami mengunjungi, berbagai objek wisata seperti Air Terjun Janji, Sipultak Hoda, dan Puncak Gonting. Tidak lupa juga mengunjungi wisata sejarah tempat kelahiran Raja Sisingamangaraja.
Saat itu, Aek Sipangolu jadi destinasi terakhir kami. Alasannya sederhana, kami ingin mengakhiri destinasi di Humbang Hasundutan dengan mandi di mata air yang tersohor itu. Lokasinya berada di Desa Simangulampe.
Aliran Aek Sipangolu yang masih dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. (Parada Al Muqtadir)
Karena terlalu asyik mengelilingi Bakkara, kami tiba di sana pukul 18.00 WIB dan tidak dianjurkan untuk mandi. Selain tepatnya gelap, suasana di sekitar Aek Sipangolu terbilang sepi. Apalagi saat kami tiba, gerimis sedang turun.
“Dingin,”gumamku dalam hati, sambil memakai jaket.
Sawarno, pemandu wisata kami mengatakan tempat ini keramat. Kita harus menjaga tutur dan perilaku. Bahkan dianjurkan membawa daun sirih atau jeruk purut sebagai bentuk hormat kepada leluhur.
Mendengar cerita Sawarno, niat mandi pun kami urungkan, lalu diganti cuci muka. Dari pandangan mata, air tampak begitu jernih. Dia muncul dari atas perbukitan yang menjulang tinggi dan dikelilingi bebatuan. Mata air ini bermuara ke Danau Toba.
Di Aek Sipangolu ada tiga tempat pemandian. Aliran di atas jembatan, di bawah jembatan, dan ada satu kolam. Kami memilih ke bawah jembatan karena luncuran air lebih deras.
Saat hendak mencuci muka, kita diwajibkan membuka alas kaki. Di sana juga disediakan tempat jeruk purut, persis di dekat aliran air yang membuncah.
Takjub, begitu saat merasakan sensasi kesegaran Aek Sipangolu, menghantam wajah. Seperti candu, menyiramkan berulang-ulang adalah cara terbaik menikmati air ini.
Sebelum pulang, saya menyempatkan diri, untuk ke kamar kecil. Sayang sekali, tempatnya tidak terawat. Selain tidak ada penerangan, lokasinya juga agak kotor.
Mesti suasana membuat takut, saya beranikan saja, saat hendak keluar, seperti ada bayangan yang mengikuti. Terlebih kamar mandi tidak berpintu. Saya paranoid, mengira itu bukan manusia. Sebab kami orang terakhir.
Aliran Aek Sipangolu yang masih dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. (Parada Al Muqtadir)
Sementara rombongan lain sudah menunggu di mobil. Saat menyiapkan langkah seribu. Ternyata bayangan warga yang hendak mandi muncul di hadapanku.
“Hasugian Sihotang (58),” ujarnya memperkenalkan diri.
Ternyata bukan kami pengunjung terakhir saat itu. Hasugian berasal dari Kabupaten Dairi. Dia pergi ke Aek Sipangaholu, usai berjualan telur di rumahnya, Kabupaten Dairi.
Menempuh 3 jam perjalanan hanya demi mandi di sana, bukan masalah bagi Hasugian. Dia mengaku kerap ke tempat ini, karena panggilan hati.
“Kalau ada panggilan hati saya datang. Karena saya kan marga Sihotang. Ini air dari leluhur saya. Jadi kalau ada apnggilan hati suruh mandi, ya mandi, gitu,” ujarnya
Sebelum mandi dia berdiri di atas batu sambil menyingkap daun siri. Dia lalu memejamkan mata seperti sedang berdoa. Hasugian lalu menyeburkan diri ke Aek Sipangolu. Ada sekitar 20 menit dia mandi di sana.
“Kami marpangir artinya mandi pakai jeruk purut, maknanya membersihkan roh jiwa dan raga, biar bersih,” ujar Hasugian.
Saat mandi tidak ada mantra khusus yang dibaca. Niatnya hanya untuk mandi saja, lantaran memang sudah jadi tradisi keluarganya. Namun sejak dulu, air ini berkhasiat menyembuhkan segala penyakit.
Dia juga kerap, membawa pulang air dari Aek Sipangaholu untuk keluarganya apabila ada yang sakit.
“Airnya ini diciptakan Allah yang maha kuasa, sudah bertuah. Ada khasiatnya, bukannya ada mantra-mantra,” jelasnya
Tetapi, katanya, leluhur berpesan agar setiap mandi atau mencuci muka harus menjaga sikap dan niat yang baik. Tempat ini juga dikeramatkan sebagai tempat leluhurnya untuk mandi.
“Saya punya pengalaman batin. Lima bulan lalu saya melihat sosok sepasang laki-laki dan perempuan mandi di sini. Namun itu tidak apa selagi kita menjaga lisan dan sikap selama di sini,” ujarnya
Namun dari sisi historis, Hasugian mengaku tidak mengetahui secara rinci terciptanya mata air ini. Seingatnya Aek Sipangolu diciptakan Tuhan di masa lalu untuk masyarakat Bakkara yang sedang sakit.
Tongkat Sisingamangaraja
Rasa penasaran soal asal mula Aek Sipangolu membawa kami bertemu Tetua Adat Bakarra Theodore Galimbat Bakkara. Aek Sipangolu, kata dia, tercipta dari tongkat Sisingamangaraja pada abad Ke-14.
Aliran Aek Sipangolu yang masih dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. (Parada Al Muqtadir)
Singkatnya, Sisingamangraja diyakini memiliki kesaktian, masyarakat di masa itu mengganggapnya sebagai utusan Tuhan.
“Saat itu sebelumnya masuknya agama ke Bakkara. Masih kepercayaan leluhur itu,” ujarnya.
Mata air Aek Sipangolu, jelasnya, terbentuk saat Sisingamangaraja bersama gajahnya melintasi wilayah Bakkara. Gajah yang ditungganginya kehausan, dengan kesaktianya, Sisingamangaraja menghentakkan tongkatnya ke tanah. “Timbulah air itu,” ujar Theodore Galimbat.
Kata Galimbat selain mata air Aek Sipangolu, jejak kaki gajah Sisingangamaraja juga ada di atas bukit. Namun karena sudah terlalu malam. Tidak ada juga warga yang mau mengantar.
Setelah itu, tempat ini dijadikan air penyelamat. Berawal saat penduduk Bakkara terserang penyakit menular. Melihat keadaan itu, Sisingamangaraja bermohon kepada leluhurnya Mulajadi Na Bolon (Tuhan) agar Aek Sipangolu menjadi obat penawar
“Lalu tumbuh mata air itu menjadi obat. Di mana orang yang sakit datang ke sana. Berobat dengan gratis. Orang buta bisa melihat, orang lumpuh bisa berjalan. Lama itu terjadi dan makin manjur,” ujarnya.
Hingga sekarang, khasiat Aek Sipangolu masih diyakini. Selain tempat mandi, masyarakat juga berbondong membawa air itu dengan jeriken. Namun, ada pantangan yang harus dijaga saat hendak masuk ke sana. “Kalau boleh tujuh hari hari, sebelum ke sana, jangan dimakan daging babi, anjing, dan makanan darah. Pantang,” ujarnya.
Adanya, ritual warga yang membawa sekapur sirih dan jeruk purut, merupakan bentuk persembahan kepada leluhur yang memang sudah dilakukan sejak berabad-abad lalu.
“Budaya itu, maknanya, berbudi luhur, hati mulia dan jujur. Jadi itu tanda penghormatan pada leluhur. Kesantunannya di situ, doa-doanya, apa niat anda, yang (terpenting), terkandung dalam pikiran yang baik,” ujarnya.
Sisingamangaraja Ahli Geologi?
Secara geologis, Bakkara berada di sebelah barat Danau Toba. Telah dinobatkan menjadi Taman Bumi atau Geopark berdasarkan penilaian UNESCO. Hal itu pula yang membuatnya dijadikan sebagai 1 dari 16 geosite yang akan dikembangkan pemerintah Indonesia.
Aliran Aek Sipangolu yang masih dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. (Bagus Akhiro)
Geopark tempat lahirnya Sisingamangaraja itu, terbentuk dari letusan Gunung Toba, 800 Ribu tahun lalu (Old Toba Tuff). Letusan itu membentuk dinding kaldera. Sifatnya akuifer atau menyimpan air dalam tubuhnya.
“Kalau di sistem Old Toba Tuff, ada rekahan (batuan pecah) ada di tubuhnya dan ini ada yang dekat ke permukaan (air),” ujar, Vice General Manager Toba Caldera Geopark, Gagarin Sembiring.
Rekahan ini, kata Gagarin, tempat saluran mengalir. Secara geologis ciri-ciri rekahan yang mengandung air bisa dikenali. Kalau di masa sekarang para ilmuan membornya dengan mesin.
Sedangkan di masa lalu nenek moyang memukulnya dengan kayu, lalu pecah dan keluarlah air.
“Mungkin nenek moyang kita dulu atau katakanlah Raja Sisingamangaraja mengenali dimana sumber air dekat ke permukaan. Kalau itu ditokok, pecah, connect-lah rekahan itu ke permukaan untuk mengalirkan air,” tutupnya.(*).
1,130 total views