Aktifitas masyarakat di Desa Huta Ginjang.(Damai Mendrofa)
Penulis dan Fotografer: Damai Mendrofa
Geosite ini berada di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Ketinggiannya 1.095 meter di atas permukaan laut. Ini yang menyebabkan angin senang bermain menerbangkan anak-anak rambut, terus tanpa henti. Alhasil, suhu udara 14 derajat Celcius sering di sini
—————
Pagi dengan rinai saat tiba di Huta Ginjang. Hutan pinus bagai kanopi, berbaris seirama bukit merangkai imaji. Pelan-pelan, embun berkejaran dalam drama yang menyelimuti kedatangan kali ini, awal Oktober. Saya tak sendiri, seorang teman menemani.
Sambil bersedekap, saya berdiri lama di tepian salah satu geosite di Danau Toba, menenangkan. Sembari menikmati sejuk, mata disuguhi kaldera Gunung Toba. Bentang alamnya menyatu dengan Pulau Samosir, lekukan tepian Danau Toba yang aduhai, petak-petak sawah, hutan pinus membelah jalan yang mengular dan Tugu Aritonang yang menjulang. Nun jauh, permukaan danau merefleksikan guratan tebing, sebuah harmoni.
Geosite ini berada di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Ketinggiannya 1.095 meter di atas permukaan laut. Ini yang menyebabkan angin senang bermain menerbangkan anak-anak rambut, terus tanpa henti. Alhasil, suhu udara 14 derajat Celcius sering di sini.
Sejumlah wisatawan menikmati panorama Kaldera Toba dari Huta Ginjang. (Damai Mendrofa)
Perjalanan sebelum tiba di Huta Ginjang, kami mulai dari Tarutung, ibu kota kabupaten Tapanuli Utara dengan melintasi Jalan Lintas Sumatera. Aspal hitam lengang, hanya truk atau mobil travel membawa penumpang yang biasanya dari Kota Medan menuju Kota Sibolga. Keramaian kami temui hanya di beberapa titik, puncaknya di Terminal Siborong-borong. Ini kota terkenal dengan Ombus-ombus, penganan khas Tapanuli Utara.
Membelah jalan dua arah, di kiri rumah toko berjejer, sementara di kanan terminal yang menyatu dengan onan: pasar tradisional, biasanya sangat ramai di hari-hari tertentu. Payung tenda para pedagang menghiasi bibir jalan, laju kendaraan melambat.
“Dang dihamu laccat on?” teriak seorang ibu pedagang. Bibirnya merah karena napuran (sirih, red). Saya menjawab tidak.
Usai membeli Ombus-ombus, kendaraan sedikit saya kebut mengejar waktu. Lepas sepuluh menit, mobil berbelok ke jalan raya Muara, searah Bandara Silangit. Bandara yang terus dikembangkan untuk menyangga arus wisatawan ke Tao Toba.
Sepanjang aspal hotmix berkelok, berbaris rumah-rumah warga semi modern. Halaman belakang, ditanami beragam komoditas. Terlihat pula beberapa petak kebun kopi di kanan-kiri jalan. Baiknya, laju kendaraan tak terlalu kencang, menghindari anjing peliharaan warga yang suka berkeliaran. Seekor sempat kami serempet, syukur tak apa-apa, anjing hanya menggonggong geram di belakang kendaraan kami.
Kembali berkendara sekitar 20 menit, ditemui simpang tiga yang memisahkan Huta Ginjang dan Pelabuhan Muara. Kalau mau ke Huta Ginjang, jalannya melintasi gapura kecil. Perjalanan berlanjut hingga pertigaan selanjutnya yang memisahkan jalan menuju geosite dan Bukit Doa. Berkelok ke kiri, jalan menanjak tajam, landai sejenak, lalu menanjak lagi sampai gapura menyambut. Tarif masuk Rp 6.000 per orang.
“Kita ukur suhu tubuh dulu, ya bang,” kata petugas jaga usai menerima retribusi dari saya.
Kendaraan lantas saya parkir. Menghirup dalam-dalam udara sejuk sembari berjalan menuju papan nama besar bertulis Huta Ginjang. Meski tak ramai, beberapa wisatawan sudah lebih dulu tiba dan hanyut di panorama yang tersaji.
TWA Sijaba Huta Ginjang
Geosite Huta Ginjang merupakan bagian penting dari Taman Wisata Alam (TWA) Sijaba Huta Ginjang yang dikelola Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA). Taman seluas 500 hektar lebih ini terbagi dalam dua bagian terpisah yaitu Sijaba di Desa Sihonongan, Desa Paranginan Selatan dan Desa Lumban Barat di Kecamatan Paranginan, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas, dan Huta Ginjang di Desa Silando, Huta Ginjang dan Desa Sitanggor, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara.
Hutan Pinus di Taman Wisata Alam (TWA) Sijaba Huta Ginjang. (Damai Mendrofa)
Menjadi salah satu penopang potensi pariwisata di sektor alam, TWA Sijaba Huta Ginjang menjual panorama Danau Toba, hutan pinus dan beberapa jenis hewan langka.
“Kalau satwa besar hampir gak ada. Peneliti dari IPB menemukan beberapa jenis katak di Huta Ginjang, ada juga kupu-kupu dan burung,” kata Kepala BBKSDA Wilayah II Sumatera Utara Seno Pramudita.
Seno bilang, sejumlah gagasan dan ide pengembangan sudah dirancang. Misalnya pemanfaatan kawasan hutan menjadi penangkaran hewan.
“Rencana awal, ada daya tarik sendiri misalnya penangkaran rusa, jadi ada nilai lebihnya. Misalnya konservasi gajah jinak di Simalungun, ini bisa contoh. Polanya kerja sama dengan masyarakat sekitar, tapi belum ketemu ini,” ucapnya.
Jejak Trenggiling
Soal binatang tak cuma yang disebut Seno. Rimbun hutan pinus di Huta Ginjang menyimpan jejak-jejak trenggiling. Sayangnya, binatang pemakan semut itu bernasib buruk karena terus diburu dan tak lagi ditemukan.
“Tahun 2012 sudah tak pernah terlihat, ada pemburu dari luar yang sering datang, mereka berburu malam sambil membawa anjing,” kata Kepala Desa Huta Ginjang Kasran Simare-mare.
Menariknya, mamalia dari ordo Pholidota ini tidak bersarang di batang pohon, melainkan di tanah atau celah bebatuan.
“Di situ dia bersarang, malam keluar dan pagi masuk. Beratnya mau sampai 10 kilogram,” kata Kasran.
Pasir Sisa Letusan
Letusan supervulcano Gunung Toba yang ketiga terjadi pada 33 ribu tahun lalu, bersamaan dengan terangkatnya Pulau Samosir, terbentuknya Pulau Sibandang, Gunung Pusuk Buhit, Bukit Sipiso-piso dan geotermal Aek Rangat di Pangururan dan Batu Pintu di Simbolon-Palipi.
Pasir Silika, keajaiban alam sisa letusan Kaldera Toba 33 ribu tahun lalu di Taman Wisata Alam (TWA) Sijaba Huta Ginjang. (Damai Mendrofa)
Jejak letusan berupa pasir kaca atau silika (Si02), jenis mineral yang berasal dari kerak kontinen bumi. Mineral ini punya banyak manfaat , disebut-sebut juga menjadi salah satu bahan pembuatan mikroprosesor. Di Geosite Huta Ginjang, pasir ini terhampar.
“Mengandung magnet dan baik untuk kesehatan di telapak kaki. Pasir silika ini merupakan sisa letusan,” kata Sekretaris Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba Debi panjaitan, kebetulan sekali dia sedang berada di dekat kami.
Selain di geosite, pasir silika juga selalu ditemukan di pekarangan warga. Meski belum pernah dimanfaatkan secara langsung.
“Kalau di kampung, di halaman rumah banyak kaca ini. Ya, gak ada digunakan karena untuk campuran semen gak bisa digunakan. Tapi itulah, keajaiban ini, ada pasir kaca,” kata Kasran.
Religi
Bukit Doa namanya. Destinasi religi di kawasan Desa Huta Ginjang, tak jauh dari geosite. Bukit ini dikelola secara perorangan di tanah milik keluarga Boru Siagian (69) dan almarhum suaminya bermarga Ompu Sunggu.
Bukit disulap menjadi areal peribadatan khusus umat Nasrani sejak sepuluh tahun lalu. Terdapat patung “tangan” dalam posisi menyembah menghadap Kaldera Toba, di tanah seluas 100 meter yang dikelilingi pagar.
Bukit Doa di Desa Huta Ginjang. (Damai Mendrofa)
Ada pula 26 bilik doa yang disediakan untuk pengunjung. Dibangun bertingkat, ditutup dengan kaca dan juga menghadap langsung Danau Toba. Menuju bilik-bilik itu, kita diajak melintasi anak-anak tangga yang menuruni bukit.
“Marga Hutabarat dari Jakarta yang bangun, tapi dia sudah meninggal, sekarang kamilah yang mengelola,” kata Boru Siagian sambil menguyah napuran.
Hutabarat, awalnya meminta lahan kepada Boru Siagian dan suaminya, tidak untuk dijual. Mengetahui rencana Hutabarat untuk membangun fasilitas ibadah, pasutri itu mengizinkan dengan gratis.
“Ku bilang, asal-lah lahir Tuhan Yesus di tanah ini, saya kasi gratis. Dibangunnya-lah itu,” cerita Boru Siagian.
Bangunan pertama hanya bilik-bilik doa. Tak lama usai dibangun, longsor melanda dan merusak bangunan. Hutabarat, sekitar lima tahun lalu membangun kembali sekaligus membangun patung “tangan”.
“Inilah sekarang, ramai orang dating. Ada yang berdoa, ada juga yang lihat-lihat saja,” ujarnya.
Menikmati landscape Kaldera Toba dari Bukit Doa tak kalah seru. Selain dari fasilitas Bukit Doa, ada gajebo dan tempat duduk yang dibangun Boru Pasaribu di depan warung miliknya. Menikmati panorama sembari makan kacang garing yang digongseng Boru Pasaribu jadi mengasyikkan.
251 total views