Penulis dan Fotografer: Arjuna Bakkara
Aktifitas masyarakat di dekat makam sekaligus Tugu Peringatan Tuan Jonggi Ni Pasir Silalahi yang langsung terlihat sesaat sebelum menepi di Pula Tolping. (Arjuna Bakkara)
Tersebutlah seorang Datu atau dukun yang sangat sakti dari Tolping Pulo Samosir. Dia anak dari Silalahi Raja bernama Tuan Jonggi Ni Pasir Silalahi. Kabar kesaktiannya yang terdengar ke penjuru wilayah membuat datu-datu dari Seberang Danau Toba terpancing menandingi kesaktiannya.
Taruhannya, yang kalah akan memberikan nyawanya pada pemenang. Tujuh Datu penantang takluk di tangan Tuan Jonggi, lalu digongseng dalam tungku dan diambil minyak atau saripati tubuhnya. Disimpan ke dalam hajo atau guci dan disebut sebagai Sibiaksa atau lazim disebutkan Sibiangsa.
—
Bergegas saya berangkat dari Kawasan Wisata Tomok menuju Desa Tolping menggunakan sepeda motor, hanya butuh waktu sekitar 20 menit. Penulis pertama sekali menemui Ama Ni Fani Silalahi di sekitar Lumban Bona-bona Tolping.
Jalur menuju Tolping mudah dijangkau. Bila ingin melintasi jalur darat, masuk dari gerbang Tele dan turun ke Pangururan. Selanjutnya menuju arah Simanindo kemudian tiba di Tolping.
Sedangkan dari Kabupaten Toba ada dua pilihan, yakni menaiki kapal fery reguler yang sandar di Kecamatan Onan Runggu. Sebaliknya dari Dermaga Ajibata tujuan Tomok-Ambarita, dan juga dari Kabupaten Simalungun dari Pelabuhan Tiga Ras Dermaga Simanindo.
Bila dari Muara Tapanuli Utara, pengunjung bisa naik KMP Muara tujuan Samosir dan sandar di Dermaga Sipinggan Kecamatan Nainggolan.
Sore itu Ama Ni Fani Silalahi sedang duduk santai di tangga rumah Adat Batak yang dia diami bersama keluarga. Karakter wajahnya keras, sangar, namun asyik diajak berbicara.
Sayangnya, Ama Ni Fani enggan bercerita lebih banyak tentang Pulo Tolping. Karena masih ada yang lebih dituakan, Ama Ni Fani menganjurkan agar saya menemui Oppu Sandra Silalahi, pewaris atau penjaga Pulo Tolping.
Putrinya yang masih kelas 4 SD boru Silalahi pun menunjukkan rumah Oppu Sandra Silalahi. “Ni ae do jabu ni Oppung i Amang Uda (Itu, rumah oppung itu, Pak Cik).
Dari sebelah badan jalan, Rumah Oppu Sandra Silalahi langsung terlihat. Oppu Sandra masih lelah lantaran baru pulang dari Pangururan, Ibu Kota Samosir. Dia berbaring di ruang depan rumahnya.
Setelah bertegur sapa, cerita tentang Pulau Tolping pun dimulai. Dengan penuh semangat dia menyampaikan sejarah yang ia ketahui.
Pada masanya, tersiarlah kabar seorang daru atau dukun maha sakti bernama Tuan Jonggi Ni Pasir Silalahi dari Pulau Samosir. Tepatnya sebuah pulau, anak Pulau Samosir yakni Pulo Tolping dan secara administrasi berada di Kecamatan Simanindo.
“Dulu kakek (oppung) kami seorang paranormal atau dukun. Pada jaman itu adu ilmu antar datu memang menjadi hal biasa,” sebut Oppu Sandra.
Datu Tuan Jonggi Ni Pasir merupakan anak dari Silalahi Raja. Sebelumnya, Silahisabungan berangkat dari Balige menaiki Solu Bolon bersama Siraja Oloan.
Panorama Pulau Tolping berpadu dengan keindahan Danau Toba. (Arjuna Bakkara)
Awalnya mereka pergi karena sakit hati, pada satu perhelatan Gondang 7 hari 7 malam lamanya. Namun mereka dilupakan dan dibiarkan menggembala, tidak dilibatkan orangtuanya.
Keduanya pun hijrah dan tiba di Sibisa, Siraja Oloan meminta kepada abangnya Silahisabungan agar melanjutkan perjalanan. “Kalau di sininya kita tinggal, masih akan terlihat juga nanti asap dapur kita dari Balige,” ujar Oppu Sandra menceritakan Kisah singkat Siraja Oloan dengan Silahisabungan.
Lalu menyeberang ke Samosir, dan tiba di Tuktuk. Namun, diyakini masih terlalu dekat ke Balige dan Laguboti sehingga dilanjutkanlah perjalanan ke Tolping.
Sedangkan adiknya Siraja Oloan melanjutkan perjalanan ke Pangururan dan tinggal di sana. Silahisabungan pun selalu mengunjungi adiknya ke Pangururan.
Sambil berkunjung ke Pangururan, Silahisabungan meminang boru Simbolon dan lahirlah anaknya Silalahi Raja yang menjadi Penguasa Tolping dan menjadi Datu Tuan Jonggi Ni Pasir.
“Anak Silalahi Raja sendiri ada tiga, yakni Tolping, Bursok dan Siraja Bunga-bunga,”tutur Oppu Sandra mencerikan singkat silsilah Datu Tuan Jonggi Ni Pasir.
Mendengar kabar kesaktian Tuan Jonggi Ni Pasir orang-orang pintar atau dukun dari seberang Pulau Samosir tertantang untuk menguji kekuatannya. Adu ilmu dimulai, dan suatu janji pun disepakati bagi pemenang maupun yang kalah dalam pertandingan.
“Yang kalah harus menyerahkan nyawanya pada pemenang,” ungkapnya
Makam sekaligus Tugu Peringatan Tuan Jonggi Ni Pasir Silalahi di Pulau Tolping yang hingga saat ini diziarahi.(Arjuna Bakkara)
Ada tujuh datu atau dukun penantang yang berhasil ditaklukkan Datu Tuan Jonggi Ni Pasir Silalahi. Satu di antara tujuh datu tersebut masih lajang.
“Datu yang kalah maka dimasukkan ke dalam belanga besi dan digongseng, minyak tubuh atau saripatinya diambil dan disimpan di dalam guci, dan terjadilah Sibiaksa,” sebut Oppu Sandra Silalahi.
Penggunaan Sibiaksa tergantung kepada Datu Tuan Jonggi Ni Pasir. Bisa menjadi obat, dan bisa membuat perbukitan runtuh seketika hanya dengan percikan airnya.
Hingga saat ini, ungkap Oppu Sandra, Sibiaksa masih tersimpan bagus di dalam guci. Diletakkan di dalam gua Pulo Tolping. Sampai sekarang tidak ada orang yang diperkenankan masuk ke sana.
“Kalau mau masuk ke sana harus pakai senter, pakai tali,” sebut Oppu Sandra.
Silalahi dan Manik Pantang Menikah
Dari tujuh dukun penantang Tuan Jonggi, dua di antaranya datang dari Simalungun. Ada klen Purba dan Guru Tepal bermarga Manik dari Perkampungan Repa yang lokasinya sejajar dengan Tolping.
Kabar tewasnya tujuh datu, termasuk dua dari Simalungun tersiar kemana-mana. Setelah itu tak ada lagi datu yang berani menguji ilmunya ke Pulo Tolping.
Generasi berikutnya, ada keluarga perempuan dari turunan Tuan Jonggi Ni Pasir menikah dengan marga Manik dari Repa. Namun karena ada riwayat pertarungan sengit antara Guru Tepal bermarga Manik dari Repa dan Datu Tuan Jonggi Ni Pasir Silalahi, sehingga kerap terjadi ketidakserasian pernikahan antara marga Manik asal Repa dengan marga Silalahi asal Tolping.
Bahkan ada namboru atau perempuan boru Silalahi yang meninggal di Repa setelah dinikahi pria bermarga Manik asal Repa. Sebagai pertanda makamnya, kata Oppu Sandra, tumbuhlah sebatang pohon jior (kayu endemik Toba) yang menjadi tanda di pemakaman namboru mereka.
Kayu Jior tersebut tumbuh kokoh menantang angin yang berembus dari arah Tao Silalahi. Namun anehnya, daun dan ranting pohon jior itu selalu mengarah ke Pulo Tolping.
Dalam praktik-praktik ritual di Pulo Tolping sendiri hingga saat ini, mereka pun tetap menyebut nama namboru mereka yang berada di Repa.
“Jadi, mulai saat itu anak perempuan kami Silalahi dari Tolping tidak sesuai menikah dengan marga Manik dari Repa,” terang Oppu Sandra Silalahi.
Mengayuh Solu ke Pulo Tolping
Usai bercerita, Oppu Sandra pun meminjamkan solu, perahu tradisional terbuat dari batang kayu. Saya dan seorang rekan Febry Tua Siallagan Komunitas Anak Tao pergi menuju Pulo Tolping.
Tidak ada kapal khusus ke Pulo Tolping yang berjarak kurang lebih 300 meter dari daratan Samosir itu. Terpaksa saya mengambil kemudi, sedangkan Febry memegang alat-alat elektronik yang terlebih dulu kami bungkus di dalam plastik.
Pulau Tolping menjadi tempat Tuan Jonggi Ni Pasir Silalahi disemayamkan serta penyimpanan guci yang didalamnya berisi cairan minyak dari tujuh penantangnya. (Arjuna Bakkara)
Dayung demi dayungan terlalui, kami mendarat di Pulo Tolping. Indah dan asri, juga sunyi.
Aura mistis terasa apalagi membayangkan bagaimana tujuh penantang Datu Tuan Jonggi Ni Pasir mau mempertaruhkan nyawa dan bertarung demi menguji ilmunya. Namun, nyawanya berakhir di dalam belanga besi dan cairan minyak tubuhnya tersimpan dalam guci Sibiaksa.
Penelusuran saya di Pulo Tolping, di bagian tingkat tertinggi terdapat makam Datu Tua Jonggi Ni Pasir Silalahi. Makam tersebut masih terbuat dari batu. Bentuknya bulat, seperti candi dan tertutup rapat. Belakangan, makam batu itu diletakkan di atas bangunan semen persegi empat. Lalu tertulis “Tugu Peringatan Pinungka Ni Oppu Tuan Jonggi Ni Pasir”.
Ada juga pahatan batu lainnya, menyerupai lesung namun tidak rampung. Termasuk batu seukuran 2×2 meter persegi tidak dilanjutkan lagi pemahatannya.
Sedangkan di timur Pulo Tolping dibangun altar persembahyangan. Tiga mangkok cawan berisi jeruk purut ada di sanadan letaknya lebih dekat ke permukaan air Danau Toba. Menurut nelayan bermarga Silalahi yang kami temui, itu baru saja selesai dibangun dan ditujukan khusus persembahyangan kepada titisan Tuhan yang berkuasa atas Air Danau Toba.
Silalahi berujar, altar itu dibangun agar persembahyangan atau martonggo di sana bisa lebih nyaman serta lebih layak untuk dijadikan tempat media doa-doa seperti jeruk purut, telur ayam dan lainnya. Sehingga, masyarakat Danau Toba khususnya Tolping bisa makmur, ikan tangkapan nelayan mencukupi dan aktivitas di atas permukaan Danau Toba dijauhkan dari bala.
“Biar masyarakat sekitar Danau Toba jauh dari Bala, nelayan makmur,” ujar Silalahi yang kebetulan melintas menaiki solu bersama anaknya.
Tiga cawan yang berada di altar tempat berdoa atau pamele-melean di arah Timur Pulo Tolping.(Arjuna Bakkara)
Pulo Tolping bagi masyarakat di sana bukanlah sesuatu yang angker, karena mereka tahu bagaimana silsilah dan alasan peristiwa Sibiaksa yang pernah terjadi. Artinya, karena penantanglah yang datang sehingga harus ditaklukkan jika menyerang ke kampung sendiri.
Kini nelayan-nelayan leluasa bertangkap ikan di sekeliling Pulo Tolping. Oppu Sandra sendiri juga bercocok tanam di sana, ada bawang, cabai serta tomat yang di tanam. Orang-orang sekitar Tolping juga sangat menjaga sikap di sana.
Pertandingan Fair dan Sportif
Kepala Pusat Dokunentasi Budaya Batak Universitas HKBP Nommensen Manguji Nababan pertandingan antar datu pada orang Batak dulunya menjadi hal biasa. Dan juga bukan ujuk-ujuk langsung bertempur, melainkan ada janji yang terlebih dahulu disepakati termasuk taruhan nyawa seperti Datu Tuan Jonggi Ni Pasir Silalahi melawan tujuh datu.
Antar datu memang selalu uji kesaktian. Istilah ini disebut dengan “manaddanghon hadatuan dhot Mangguruhon Hadatuon (Menguji kemampuan lawan dan berguru). “Itu memang selalu dan menjadi batasan bagi datu,” terang Manguji Nababan.
Biasanya kalau para datu sudah bertemu akan ada pembahasan dan pertanyaan bila sifatnya mengarah saling adu ilmu. “Molo marpollung akka datu, “Dia do barita sibaritahononmu dia di baliga sibaligahononmu, takkas ma paboa” itu yang biasa menjadi pertanyaan pertama bagi sang penantang dengan artian: berita apa yang dibawa sang penantang.
Sang penantang pun akan menjawab “Ia harorokku manaddangho hadatuon jala mangguruhon hadatuon (aku datang menguji kemampuannya dan berguru ilmu kedatuan). Kalimat inilah yang biasanya menjadi dialog pembuka bagi mereka,” terang Manguji lagi.
Goa di Pulo Pulau Tolping tempat Guci Sibiaksa disimpan. (Arjuna Bakkara)
Sibiaksa sendiri memiliki banyak nama dan biasanya itu digunakan menurut peruntukan dan dimiliki moyang marga-marga tertentu pada orang Batak.
Sibiaksa dan pangulu balang, kata Manguji, fungsinya sebenarnya hampir serupa dan penyebutannya berbeda. Dan Sibiangsa tujuannya untuk menjadi pelayan Datu secara kasat mata.
Manguji Nababan mengakui, Sibiaksa juga berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya Sibiaksa di Tolping dengan di Simanindo.
Sibiaksa di Simanindo kata Manguji, nyawa anak-anaklah yang dikorbankan oleh datu. Pada praktiknya, anak-anak dituruti permintaannya sebelum “ditumpa” atau dijadikan sibiaksa.
Setelah jadi sibiaksa, maka ruhnya dapat diperintah sesuai kemauan datu. Sedangkan Di Tolping karena kesepakatan antara penakluk dan pemenang pertempuran. Siapa yang kalah maka nyawa dan ruhnya menjadi hak pemenang, seperti halnya Datu Tuan Jonggi Ni Pasir yang memenangkan pertarungan melawan tujuh datu.(*)
3,987 total views