Toba Caldera Resort, Sibisa, 22386

Jl. Kapt. Pattimura No.125 Medan 20153 Sumatera Utara

info@bpodt.id

Toba : (0625) 41500 Medan: (061)450-2908

Melongok Si Kacang Garing dari Bumi Tapanuli

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Foto: Tugu Kacang di pusat Kecamatan Tarutung, ibukota Kabupaten Tapanuli Utara. Kacang menjadi kuliner andalan dan populer dari Kabupaten ini. (Damai Mendrofa)

Penulis dan fotografer: Damai Mendrofa

Kacang yang telah dipilih dan dipilah dimasukkan ke dalam karung
L
alu direndam di air bersih selama satu malam atau paling cepat 12 jam
Kemudian ditiris sembari memanaskan wajan dan pasir

————

 

Sreeeek.. sreeeek.. sreeeek.. sreeeek… suara gesekan sendok stainless bergagang kayu sepanjang satu meter dengan wajan besi adalah dendang unik yang setiap hari terdengar di tepi Jalan Lintas Sumatera. Pondok berlantai tanah di depan Toko Kacang Martabe di Silangkitang, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, di situlah suara berasal.

Awal Oktober 2020, kami berkesempatan mengunjungi pondok tempat Tommi Sipahutar bekerja. Dari pintu masuk, kami melihat Tommi sedang sibuk mendorong, mengangkat lalu menumpahkan kembali kacang-kacang di dalam wajan panas. Bara di tungku perapian yang terbuat dari beton di bawah wajan terus menyala.

Pria berumur 26 tahun itu bernyanyi-nyanyi kecil mengikuti lagu Batak yang diputar dari gawai yang terbaring di samping tempat duduknya. Potongan kayu pinus yang dilapis bantal lusuh berwarna cokelat. Ada tiga gelas kosong dan dua teman yang ikut bersama Tommi menggonseng kacang.

“Kami namanya Panaok kacang,” katanya sambil membetulkan buff mask yang ia kenakan untuk menutupi wajahnya dari panas. Tinggal bola matanya saja yang terlihat.

Laki-laki ini sudah sepuluh tahun menjadi Panaok, sejak di bangku SMP. Ia terlihat menyenangi pekerjaannya. Bagi pekerja lain, Tommi dianggap senior. Mafhum menggongseng kacang tradisi  warga di Sihobuk yang masih konvensional.

Photo: Nurmaya br Manalu’s Martabe crunchy peanut panaok (roaster) in Silangkitang Village. Martabe beans still use the traditional way to produce crunchy peanuts. Namely, manually roasting using a frying pan and a mixture of sand. (Damai Mendrofa)

Pada 1982, dusun yang kini berada di Kelurahan Hutatoruan V, Kecamatan Tarutung dilanda longsor. Rumah dan kebun luluhlantak. Pasca bencana, kawasan ini terkenal sebagai tempat lahirnya kacang Sihobuk.

Kata Tommi, untuk menghasilkan kacang yang gurih dan enak dimakan, tidak sekedar piawai mengaduk saat penggongsengan saja. Ada proses panjang yang harus dilewati, mulai pemilihan dan pemilahan kacang sejak diterima dari petani.

“Kacang berasal dari banyak tempat, ada dari Pahae, Putar, Parlilitan dan Hutapea. Jenisnya juga berbeda-beda. Kalau yang sedang ku gongseng ini dari Silangkitang,” ucapnya.

Kacang yang telah dipilih dan dipilah dimasukkan ke dalam karung lalu direndam di air bersih selama satu malam atau paling cepat 12 jam. Kemudian ditiris sembari memanaskan wajan dan pasir.

Pantat wajan tak langsung dijilat api, dilapis pertama biasanya kaleng atau drum yang dirancang berbentuk setengah lingkaran. Lapisan kedua merupakan wajan yang bagian tengahnya dilubangi.

“Kalau wajan penggongsengan langsung kena api, ya cepat terbakarlah kacangnya, jadi memang uap panas api yang kena ke wajan penggongsengan,” tutur Tommi.

Untuk sekali penggongsengan, wajan mampu menampung 20 liter kacang dan dua sekop pasir putih. Penggongsengan dimulai dengan api yang terus menyala. Harus punya trik dan keahlian agar kacang tidak gosong dan terkelupas.

Dua jam kacang diaduk dan dibolak-balik, kematangan akan terasa dari bobot yang menjadi lebih ringan. Para Panaok  juga sesekali akan memakan kacang dari wajan untuk mengetahui langsung kematangannya.

Pasir yang digunakan untuk menggongseng diambil dari Aek Sigeaon. Cuma bias digunakan untuk tiga kali penggongsengan dan tak boleh digunakan kembali. Kalau dilanggar, pasir jadi hitam dan akan mempengaruhi warna kacang.

“Tapi, lebih bagus sekali pakai,” timpal Agus Nababan sambil tertawa. Dia rekan kerja Tommi di Kacang Martabe.


Foto: Andi Saragih, Panaok (penggongseng) kacang garing bermerk Martabe milik Nurmaya br Manalu di Desa Silangkitang. Kacang Martabe masih menggunakan cara tradisional untuk menghasilkan kacang garing. (Damai Mendrofa)

Menurut Tommi, penggongsengan manual adalah pilihan tepat untuk mempertahankan kualitas kacang. Meminimalisir menipisnya kulit kacang akibat gesekan.

“Dengan cara manual, besar api dapat diatur, kacang yang digongseng dapat bertahan sampai lima bulan tidak masuk angin,” tukasnya sambil mengatakan, dalam sehari, mereka menggongseng sebanyak tiga kali atau 60 liter kacang garing.

Cerita Tommi dan Agus dibenarkan Nurmaya Manalu, pemilik usaha dagang Kacang Martabe. Menggunakan wajan dan pasir untuk menggongseng merupakan mantra tersendiri. Setelah itu, ramuan yang pas saat memasaknya.

“Kalau pas masaknya, kek (seperti) dikasi garam, dikasi penyedap, padahal gak ada apa-apa. Cuma air saja, itupun tidak bisa yang kotor, harus jernih,” ujar perempuan berusia 69 ini.

Dia sudah Manaok kacang sejak 1990-an usai membeli kacang dari seorang ibu penjual Kacang Sihobuk. Itulah awal dia menjadi penjual kacang yang berlanjut dengan menciptakan merek dagang sendiri.

“Pernah jumpa ibu yang membawa kacang tanah, ku minta satu goni dan laku. Besok-besoknya ku bilang sama dia, dari mana kacang mu, dibawanya aku ke Sihobuk,” kata Nurmaya saat ditemui di tokonya.

Proses mempelajari cara menggongseng kacang, bagi Nurmaya tidak mudah. Kala itu, ia menggongseng menggunakan wajan biasa sisa penjualan toko kelontongnya yang terpaksa harus ditutup.

“Itulah ku bikin, ku goreng sekali goreng lima liter,” ucapnya.

Foto: Nurmaya br Manalu, pemilik kacang garang bermerk Kacang Martabe di Desa Silangkitang, Kecamatan Sipoholon. Kacang Martabe masih menggunakan cara tradisional untuk menghasilkan kacang garing. (Damai Mendrofa)

Istri dari mantan kepala sekolah bermarga Pandjaitan yang sudah meninggalkan dunia ini bilang, akan terus mempertahankan cara tradisional memasak kacang. Baginya, menggongseng dengan wajan dan pasir adalah caranya mempertahankan usaha dan rasa sembari menjaga kearifan lokal populernya kacang di bumi Tapanuli Utara.

“Dengan cara tradisional, kacang bertahan lama. Sepanjang saya masih hidup akan saya pertahankan,” katanya yakin.

Menggongseng kacang di wajan bercampur pasir, seiring waktu memang kian sedikit yang melakukannya. Kini, cara menggongseng sudah didominasi penggunaan drum, terutama yang memakai mereka dagang Kacang Sihobuk. Prinsipnya tetap menggongseng meski tidak selalu menggunakan pasir.

Seperti yang dilakukan Nurcahaya Simamora, penjual merek dagang Nastry Jaya Kacang Sihobuk di pinggir Jalan Lintas Sumatera di Desa Situmeang Habinsaran, Kecamatan Sipoholon.  Desa yang juga populer dengan pemandian air panas ini, kios-kios penjual kacang berbaris sejauh mata memandang.

Dua unit drum penggongseng kacang terletak tak jauh dari kios. Di bawahnya tungku persegi panjang dari batu-bata dengan bagian depan lebih tinggi. Drum dimodifikasi sedemikian rupa, misalnya dengan poros dari besi agar dapat berputar secara konstan.

Foto: Drum yang sudah dimodifikasi untuk menggongseng Kacang Sihobuk milik Nurcahaya Simamora pemilik Kios Nastry Jaya Sihobuk di jalan Lintas Sumatera, Desa Situmeang Habinsaran, Kecamatan Sipoholon. (Damai Mendrofa)

Di ujung poros bagian depan terdapat dua gear sepeda motor. Ada pula roda sepeda dan rantai di belakang drum yang digunakan untuk membantu memutar drum. Bagian dalam drum didesain dengan ruang-ruang membentuk seperempat lingkaran. Drum akan ditutup selama proses penggongsengan berlangsung.

“Saat menggongseng drum digerakkan dinamo listrik, dan setelah masak, drum diputar secara manual untuk mendinginkan kacang. Nah, kacang harus benar-benar dingin agar mempengaruhi proses packing,” kata Nurcahaya yang sudah membuka kios sejak 2004.

Proses menggongseng berlangsung selama dua jam lebih, sedangkan proses pendinginan sedikit lebih lama. Setelah itu, dikemas ke dalam bungkus plastik atau kaleng.

Nurcahaya menjelaskan, sekali penggongsengan, drum memuat empat kaleng atau seitar 80 liter kacang. Dalam sehari penggongsengan dapat dilakukan sebanyak empat kali dan bisa lebih ketika  peak season seperti Natal dan Tahun Baru.

Proses pra menggongseng dilakukan tak jauh berbeda. Kacang diperoleh dari para petani kacang di kecamatan berbeda. Misalnya dari Hutatinggi, Pahae, Sipoholon, Tarutung dan beberapa kecamatan lainnya.

“Setiap kecamatan kan mau berbeda panennya, kalau bukan petani yang datang, kita yang survei. Masa panen itu mulai pertengahan Oktober, hingga Desember,” imbuh Nurcahaya.

Foto: Seorang pekerja di Kios Nastry Jaya Sihobuk di jalan Lintas Sumatera, Desa Situmeang Habinsaran, Kecamatan Sipoholon, saat mengemas Kacang Sihobuk ke dalam Kaleng. (Damai Mendrofa)

Pemilihan dan pemilahan kacang berkualitas dilakukan secara ketat, biasanya, kacang berkulit tebal menjadi pilihan. Kacang yang sudah dipilah kemudian direndam di air bersih selama satu malam, kemudian ditiriskan sebelum masuk ke dalam drum untuk digongseng.

Cara penggongsengan yang berbeda memang akan menjadikan rasa kacang juga berbeda, biasanya di rasa garing. Tidak cuma karena merek berbeda, perbedaan bisa saja didapat dalam merek Sihobuk yang sama dari proses penggongsengan yang berbeda.

Namun tak perlu khawatir, kacang dari Taput dalam ragam merek sudah diproses dengan ‘mantra-mantra’ yang aduhai. Jadi, jika singgah, pastikan tas mu berisi kacang untuk dibawa pulang sebagai buah tangan.

 

 

 532 total views

Komblik BPODT
Komblik BPODT

Leave a Replay