Penulis: Arjuna Bakkara
Pengunjung Sigale-gale di Obejek Wisata Tomok Bolon sedang menikmati atraksi kesenian Sigale-gale. (Arjuna Bakkara)
Patung menari itu disebut Sigale-gale
Kini menjadi atraksi populer di Samosir
Namun siapa pula yang membuatnya hingga terkenal
Jadi ikon pariwisata ketika berkunjung ke Samosir
Pulau indah kepingan surga
—
Sektor pariwisata nyaris lumpuh sejak Maret lalu. Namun pada September 2020, wisatawan mulai berdatangan lagi ke Pulau Samosir. Pariwisata berdenyut lagi, perekonomian bangkit Kembali.
Cuaca memang tak menentu dan dominan musim penghujan, namun Tomok, Kabupaten Samosir yang terkenal dengan atraksi Sigale-gale tetap ramai dikunjungi.
Kios-kios suvenir mulai dari gerbang pintu masuk Pulau Samosir hingga ke areal Makam Raja Sidabutar dan kompleks Sigale-gale Tomok Induk juga ramai pembeli. Gema musik Batak yang awalnya sayup dari kompleks Pertunjukan Sigale-gale semakin terdengar menandakan lokasi semakin dekat.
Kunjungan saya beberapa kali ke Tomok Induk tempat atraksi wisata Sigale-gale ada yang kurang lengkap. Komponen instrumen Batak tidak lagi dimainkan secara langsung melainkan diputar pakai MP3. Hal ini bisa diterima, lantaran biaya untuk pemusik atau seniman musik tidak sesuai dengan jumlah kunjungan wisatawan belakangan.
Selain keindahan alam Samosir, tentu yang menjadi ‘magnet’ bagi wisatawan adalah cerita rakyatnya. Termasuk Atraksi Sigale-gale di Tomok, selain historis dan Makam Tua Raja Sidabutar.
Sejak opera Sigale-gale jadi tontonan wisatawan lokal dan mancanegara, perekonomian ekonomi masyarakat perlahan meningkat. Destinasi di sekitar Samosir jadi ikut ramai dikunjungi, home stay, penjual suvenir, usaha kuliner, rental sepeda dan motor juga ikut terdongkrak.
Namun, di balik ketenaran Sigale-gale Tomok, ternyata ada tokoh-tokoh sejarah yang terlupakan. Mereka termasuk orang-orang pertama yang memulai adanya atraksi Sigale-gale di Pulau Samosir.
Boneka Sigale-gale di Huta Siallagan, Kabupaten Samosir. (Fit Hartoyo)
Narasumber saya kali ini masih keturunan dari salah satu orang-orang pertama yang memperkenalkan orang Sigale-gale ke dunia luar. Hotna boru Sijabat, anak kelima dari Almarhun Jatiman Sijabat.
“Iya, Jatiman Sijabat ayah saya. Saya anak kelima dari 6 bersaudara anak beliau,” kata Hotna ditemui di rumahnya di Tomok Pulau Samosir.
Adalah Jatiman Sijabat, selain memang tokoh atau penetua di Tomok pada zamannya dia adalah kelompok pemusik Sigale-gale pertama kali. Dari memulai pembukaan wisata Sigale-gale hingga akhir hayatnya dia mendedikasikan diri bermain musik.
Kepiawaian Jatiman Sijabat memainkan kecapi berpadu dengan tagading, sarune, alat musik garantung yang dimainkan rekannya kala itu mampu memukau tamu-tamu. Para wisatawan pun membawa kabar ke negaranya tentang keindahan Pulau Samosir dan cerita sekaligus betapa uniknya atraksi Sigale-gale boneka kayu yang dibuat manortor.
“Ketika itu awalnya atraksi kesenian Sigale-gale diiringi kecapi “hasapi”,” timpal Marga Sidabutar yang berkunjung ke kediaman Hotna serta juga mengetahui cerita awal proses atraksi Sigale-gale jadi pertunjukan pariwisata.
Boneka Sigale-gale di Huta Siallagan, Kabupaten Samosir. (Fit Hartoyo)
Hotna berkisah, atraksi atau pertunjukan seni Sigale-gale awalnya diperkenalkan pada wisatawan pada tahun 1960. Ketika itu, ada warga setempat bernama Mangoloi Sidabukke beristrikan boru Gultom membawa wisatawan asing atau bule untuk pertama kali ke Tomok Pulau Samosir.
“Pada tahun 1960-an, Sigale-gale sudah ada. Lalu, kios pun mulai dibangun seiring kedatangan tamu-tamu. Restoran-restoran dan penginapan pun mulai dibuka,” terang Hotna.
Atraksi Sigale-gale selalu menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke Samosir. (Narendra)
Setelah itu para Raja Bius atau tetua dan tokoh-tokoh masyarakat di Tomok berkumpul. Termasuk tokoh-tokoh yang ahli di bidang seni musik, seperti Jatiman Sijabat dan para panortor atau penari tradisional Batak juga dikumpulkan.
Kesepakatan untuk memperbaiki perekonomian dari sektor pariwisata untuk masyarakat Tomok tercipta. Diambillah satu silsilah cerita tentang Sigale-gale untuk dipertunjukkan.
“Lalu, disepakati cerita Simanggale. Tamu yang datang pun mulai bertanya-tanya, kenapa ada kayu menari,” cerita Hotna Sijabat.
Ketika itu, Sigale-gale pun dibangun di Tomok Bolon. Ada beberapa komponen di sana, antara lain Parsarune atau peniup alat musik serunai pada Binsar Sidabutar, dan Jatiman Sijabat pemain kecapi atau hasapi. Kata Hotna, di antara rekan ayahnya masih ada yang tak disebutnya lantaran lupa nama aslinya.
Seniman seperti Jatiman Sijabat dan rekan-rekannya makin kesohoro karena melalui kartu pos atau post card. Sayangnya, di Samosir terkhusus Tomok tidak banyak generasi yang mengetahuinya.
“Pada masanya post card ini dijual hingga ke luar negeri. Termasuklah salah satunya Jatiman Sijabat ayah saya. Marga Sidabutar Parsarune (pemain musik serunai), Marga Sidabalok Pargarantung atau pemain Garanting. Penari yang ku ingat Serli Boru Sidabutar, Riso Sijabat dan belum masih ada beberapa yang belum saya sebut,” terang Hotna Sijabat.
Dulunya, post card itu semacam pengganti brosur seperti saat ini. Di sanalah dituliskan jadwal atraksi Sigale-gale beserta nama-nama inisiator dan pelaku atraksi Sigale-gale.
“Aku tahu ini setelah pergantian dan ayah saya Jatiman sudah meninggal. Panortor dan pemainnya pun sudah tidak lagi melibatkan yang lain-lain,” ujar pendiri sekaligus pembina Sanggar Seni Parsaulian GPSB Tomok ini.
Sayangnya, keturunan dari tokoh-tokoh seperti Jatiman Sijabat dan Binsar Sidabutar sendiri tak lagi yang melanjutkan untuk bermain dipertunjukan Sigale-gale.
Kisah Anak yang Dihukum
Cerita Sigale-gale yang berkembang di Tomok yang diketahui Hotna adalah kisah seorang anak yang dihukum. Tersebutlah seorang anak ditugasi orangtuanya menjaga ternak kerbau, namun perintah tak diindahkan.
“Ala dang diulahon, i uhum ma imana. Ikkon gabe ma ho songon hau on inna natorasna, gabe ma imana songon hau na gale i. (Karena perintah ayahnya tak dikerjakan, dihukumlah dia. Harus jadi seperti kayu inilah kau lemah lunglai kata ayahnya. Dan jadilah dia seperti batang kayu yang lemah atau berarti gale,” terang Hotna.
Atraksi Sigale-gale selalu menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke Samosir. (Narendra)
Dari cerita tersebut, kata Hotna tentu dapat diambil nilai bagaimana peran anak yang seharusnya menuruti orang tua. Demikian juga orangtua, agar tidak terlalu kasar dalam menasihati anak-anaknya.
Konon, lanjut Hotna, si anak pun yang telah menjadi kayu tak dapat disesali. Ucapan si orang tua tak dapat ditarik, seperti kata pepatah ‘ibarat nasi sudah menjadi bubur’.
Untuk mengobati kesedihan, sang Ayah pun mengambil dan membawa kayu tersebut ke kampungnya. Lalu, kayu yang tadinya terjadi dari Sigale-gale tadi diukir dan dibawa pulang.
Saban hari, kedua orangtua Si Manggale dirundung kesedihan dan penyesalan yang dalam. Hidupnya pun dilanda kesulitan karena mengutuk anaknya jadi kayu.
Setelah itu, Ayah Simanggale yang terus menerus menyesali kutukannya kepada anaknya membuat sebuah pagelaran musik uning-uningan untuk menghibur roh anaknya. Termasuk kekhawatiran dia sebagai orang Batak, kalau usia sudah tua dan meninggal layaknya harus ada yang meratapi yaitu anaknya sendiri.
Lantaran Simanggale tak lagi ada dan telah dikutuk, kedua orangtua pun mati dan cerita berujung kesedihan tanpa ada ratapan dari anak sendiri.
Sejak itulah, cerita Sigale-gale atau Simanggale dikenal di kalangan Masyarakat Batak.
Saat ini, Atraksi Sigale-gale tak lagi hanya ada di Tomok. Pihak Museum Huta Bolon Simanindo dan juga wisata batu kursi persidangan di Perkampungan Raja Siallagan telah ikut mempertontonkan Sigale-gale.
Atraksi Sigale-gale selalu menjadi daya tarik wisatawan yang datang ke Samosir. (Narendra)
Sehari-hari Hotna kini bercocok tanam sayur mayur, namun tak lekang dari berkesenian dan tetap mengurusi Sanggar Seni Parsaulian GPSB Batak Tomok yang ia dirikan. Beternak beberapa ekor kerbau, ayam dan juga kambing merupakan aktivitasnya. Setiap hari, Hotna selalu kedatangan orang-orang yang ingin berobat.
Selain pandai urut, Hotna juga memiliki talenta meramu tumbu-tumbuhan obat menjadi minyak urut dan jamu-jamuan. Talenta ketabiban itu termasuk menjadi penyambung hidupnya bersama suami dan kedua anaknya.
Sayur mayur yang ditanam tanpa pestisida atau hanya dengan kompos ternak, dia jual sendiri di Pasar Tradisional setiap akhari pekan. Meski hanya berjualan dan tidak terlibat pada Sigalegale, Hotna mengaku senang melihat kemajuan kampungnya karena sektor kepariwisataan yang dirintis ayahnya.
“Tentu, sangat senanglah melihat warga Tomok bisa makmur dan hidup berkecukupan setelah adanya atraksi Sigale-gale Di Tomok ini,” pungkas Hotna.
530 total views