Penulis: Damai Mendrofa
Para penembak ikan bersiap menyelami Danau Toba. Kegiatan ini punya potensi untuk mendongkrak atraksi pariwisata di Toba. (Dok. Spear Fishing)
Danau Toba adalah surga
Semua berdaya agar semua berguna
Tidak cukup mengulik keindahan panorama
Ini juga soal kreatifitas anak-anak muda
—
Geliat pariwisata terus diharapkan berkembang di daerah-daerah dalam lingkaran Kaldera Toba. Penetapan kawasan ini sebagai Geopark oleh Unesco, menyusul ditetapkannya Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba, tak ayal mendorong seluruh pihak bergerak, termasuk anak-anak muda.
Itu yang terlihat ketika berkenalan dengan Rasyid Pardede dan Kris Manullang. Dua anak muda di Balige, Kabupaten Toba yang kini berjibaku membangun komunitas Spearfishing Danau Toba. Komunitas yang memadupadankan hobi, kampanye perlindungan alam dan visi kepariwisataan.
Ditemui menjelang tengah malam di bilangan pusat Kecamatan Balige, Keduanya dalam waktu bersamaan, lantas memesan kopi. Rasyid didapuk sebagai ketua Komunitas itu. Sementara Kris, selain anggota, ia memegang peran sebagai pembuat konten video yang diunggah di media sosial Youtube.
Sukses, akun bernama Spearfishing Danau toba itu menggaet 143 ribu subscribers. Sekali penayangan video berkonten menembak ikan, penontonnya mencapai ribuan orang. Kris mengaku, youtube yang ia kelola telah menghasilkan uang.
Mengawali obrolan, Rasyid menuturkan komunitas Spearfishing Danau Toba yang dibentuk awalnya adalah berkat hobi. Belum lama ia menyukai aktivitas ini, tapi makin hari makin cinta, dan bertekad mengembangkannya.
Selain karena hobi, beberapa hal yang menyemangati untuk mengembangkan komunitas itu, dipicu keinginan untuk menetralisir soal citra buruk yang membuat wisatawan takut berenang di Danau Toba.
“Berenang dan menyelam di Danau Toba itu aman, kita mau agar stigma buruk tentang air Danau Toba tidak lagi melekat,” ucap Rasyid.
Menembak ikan bisa menjadi atraksi yang memikat wisatawan untuk datang ke Danau Toba. (Dok. Spear Fishing)
Ia mengaku pengembangan Spearfishing sebagai objek wisata sudah dimulai. Misalnya dengan mulai merancang paket kepada para wisatawan yang berkeinginan menyaksikan atau ikut dalam atraksi itu. Beberapa waktu terakhir, sejumlah tamu juga sudah pernah dibawa.
“Sudah ada memang yang pernah kita bawa, misalnya Riko Simanjuntak, pemain bola dari Persija Jakarta, ada juga dari Brimob, seru, kita bawa kemarin dan mereka suka,” ucap Rasyid.
Dijalankan dengan Aturan Ketat
Mendirikan Komunitas bagi Rasyid dan Kris tentu untuk merangkul para penembak ikan di tepian Danau Toba yang memiliki visi yang sama. Dengan berkomunitas, aturan dibuat untuk dijalankan dengan baik.
Kris mengatakan, aturan yang ada di internal Komunitas Spearfishing yang telah berjalan sejak 2 tahun terakhir dan telah berakta notaris sejak 21 September 2020. Tujuannya, selain peningkatan kapasitas keorganisasian, juga untuk menguatkan kepercayaan masyarakat tentang tujuan positif dibangunnya komunitas tersebut.
Beberapa daerah di tepian Danau Toba, tambah Kris, saat ini juga sudah menerbitkan peraturan desa yang melarang aktifitas menembak ikan. Aturan itu dipicu aktifitas para menembak ikan yang asal-asalan.
“Kan banyak penembak asal ambil saja, tidak memikirkan keberlanjutan, dan ada juga penembak yang tetap ngotot walaupun ada aturan desa, ini yang kita tidak inginkan,” ujar Rasyid.
Aturan di komunitas nantinya akan berisi soal beberapa hal penting. Mulai hari tertentu yang boleh menembak, tempat yang diperbolehkan untuk menembak, ukuran ikan, hingga soal keberlanjutan ikan dengan cara menabur ikan sekali setahun. Aturan itu, tentu pula dengan sanksi bagi anggota komunitas yang melanggar.
Ia mencontohkan aturan yang kini sudah dijalankan itu misalnya soal batas ukuran ikan yang boleh ditembak. Ikan dengan bobot setengah kilogram ke bawah, tidak termasuk ikan yang boleh ditembak.
“Ada denda Rp10 ribu jika ada penembak yang menembak ikan kecil, denda itu juga diwajibkan dalam bentuk ikan yang akan ditaburkan ke dalam danau. Nah, para penembak juga harus terus berkoordinasi dengan pengurus jika ingin menembak. Dengan begitu, seluruh penembak dapat terkoordinir,” urainya.
Rasyid berpose dengan ikan yang berhasil ditembaknya. (Dok Spear Fishing)
Aturan ketat lainnya juga dengan menerapkan standar keselamatan bagi para penembak ikan. Contohnya, aturan mewajibkan seorang penembak yang harus didampingi seorang pendamping atau helper. Bertugas sebagai pengawas saat penembak beraksi.
Helper juga sebagai pengarah kepada penembak ke arah mana bergerak. Ini juga agar menghindari agar tidak terjadi insiden ketika ada beberapa penembak sedang berburu ikan.
“Kedepan sih memang kita mau buat standar tentang itu,” kata Rasyid.
Saat ini, Spearfishing Danau Toba yang memiliki penasehat Asisten I Pemkab Toba, Harapan Napitupulu tersebut, telah merangkul sedikitnya 50 anggota di empat kabupaten: Toba, Dairi, Samosir, dan Simalungun. Para anggota merupakan penembak-penembak ikan yang memiliki visi yang sama, mulai dari hobi dan orientasi pengembangan pariwisata.
Kedepan akan didorong agar komunitas ini terus berkembang dan menjangkau lebih banyak penembak yang ada di luar empat kabupaten tersebut.
Sensasi Menembak Ikan dan Tradisi Mangaradak
Kris bercerita, selama menembak ikan ia merasakan sensasi tersendiri. Sensasi itu yang menurutnya bernilai wisata yang tinggi bagi peminat atraksi menembak ikan. Sensasi itu ia sebut menikmati keheningan dan adrenalin di dalam air.
Menembak ikan juga membutuhkan kejelian yang tinggi dalam memilih lokasi. Disebutkan, lokasi yang tepat itu yakni berada di dasar danau dengan kontur yang datar dan berpasir.
“Ada tanaman yang tumbuh di dasar, di situ kita menunggu ikan,” ujarnya.
Meski kebiasaan sebagian dari masyarakat Batak lekat dengan aktivitas menangkap ikan, Spearfishing diakui bukan merupakan tradisi atau kebudayaan di masyarakat Batak. Hanya saja, menembak ikan di dalam air agaknya transformasi dari kebiasaan lama.
Dahulu, mencari ikan khususnya di tepian Danau di Balige dilakukan dengan Mangaradak atau dalam bahasa Indonesia yakni menombak atau aktifitas menangkap ikan menggunakan tombak.
“Ini memang sudah kami revisi ke modern, terdahulu sebenarnya menombak dari atas. Menombak sekarang sudah jarang tapi masih ada,” katanya.
Bistok Simangunsong, warga Kecamatan Balige membenarkan Mangaradak memang merupakan kebiasaan lama masyarakat tepian Danau untuk menangkap ikan. Tombak bergagang bambu sepanjang 3 meter dan dengan mata tombak dari jari-jari sepeda. Mangaradak hanya dilakukan di permukaan air menggunakan sampan.
“Kalau dulu ada dua sampan kecil yang diikat, dari situlah menombak ikan,” kata paria 75 tahun ini.
Bistok yang sudah menombak sejak anak-anak ini menuturkan, Mangaradak biasanya dilakukan dengan berkelompok yang terdiri dari tiga orang dan memiliki peran yang berbeda. Seorang bertugas mengayuh, seorang bertugas memegang lampu Samporong atau lampu teplok, dan seorang lagi sebagai penombak ikan.
“Menombak ikan hanya dilakukan pada malam hari, sebab hanya malam hari, ikan muncul di permukaan di tepian Danau untuk mencari makan. Jadi gak terlalu liar ikan itu kalau malam, di situlah kita tombak,” kata Bistok.
Darman Rajagukguk, warga di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara mengatakan aktivitas itu dalam penamaan berbeda, yakni Manumbak. Substansinya serupa, menangkap ikan dengan cara ditombak.
Para anggota komunitas Spear Fishing bersiap menyelam untuk menembak ikan. (Dok. Spear Fishing)
Menurut dia, Manumbak jadi kebiasaan masyarakat tepian air baik sungai maupun Danau. Zaman berubah, menyebabkan aktivitas ini bertransformasi, terutama dari sisi alat yang digunakan.
“Sebelum besi mudah didapat, masyarakat menggunakan Pakkok atau batang enau yang keras dan berwarna hitam. Itulah dibuat menjadi Tombak,” kata pria berusia 52 tahun itu.
Tapi Manumbak tidak menyasar ke tradisi. Apalagi sejak dahulu, pekerjaan menangkap ikan hanya digeluti sebagian orang saja. Masyarakat sekitar Danau Toba biasanya lebih tertarik menjadi petani dan membuka ladang.
“Sepanjang yang saya tahu memang tidak terikat dengan budaya, walau memang kalau cerita tentang sampannya, ada tradisi yang memang harus dilakukan, Mangibang namanya, jadi sampan itu tidak langsung dibawa ke sungai atau ke danau,” kata dia.
Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen menyebutkan, baik Mangaradak dalam penamaan masyarakat Balige atau Manumbak bagi warga di Muara Tapanuli Utara, tidak menyasar ke budaya ataupun tradisi masyarakat Batak. Aktivitas tersebut menurut dia berkembang di era modern.
Dia menyebutkan, terdapat kebiasaan lain menangkap ikan yang bahkan tidak menggunakan peralatan dan lebih tua. Kebiasaan itu disebut Mandadap. Dahulu aktivitas ini dilakukan dimana terdapat lubuk yang menjadi sarang ikan.
“Waktu anak-anak terjun ke air, air tidak harus dikuras, ikan bisa kami sudutkan ke batu, dan biasanya ikannya ikan lele kampung,” tutur Manguji.
Nenek moyang orang Batak, katanya, memang dikenal hidup dari ketersediaan alam, termasuk pemenuhan kebutuhan lauk. Keberadaan sumber air baik sungai dan Danau menjadikan masyarakat Batak memiliki kemampuan menangkap ikan dengan beragam cara.
“Ada juga Marsapor, caranya mengumpulkan dedaunan semisal jerami, ikan lantas disudutkan. Ada juga pakai Hirang, dia pakai alat seperti keranjang, dia dijadikan alat untuk menjerat ikan, jadi banyak cara di masyarakat Batak untuk menangkap ikan,” katanya.(*)
1,088 total views