Potret Siwaluh Jabu di Desa Dokan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. (Narendra)
Penulis: Multazam
Fotografer: Narendra
Tanpa dinding dan sekat, dihuni delapan keluarga
Tanpa paku dan pengikat, mampu melawan lindu
Setiap ornamen tak hanya hiasan
Ada makna-makna, baik duniawi maupun surgawi
————–
Saat kami temui, Martunis Sembiring sedang duduk santai di sebuah warung kopi. Laki-laki di Tanah Karo akrab dengan warung kopi, bahkan sebagian besar waktu dihabiskan di sana.
Mereka bercengkrama membahas segala macam persoalan hidup dan kehidupan. Perbincangan tentang Siwaluh Jabu praktis membuat seisi warung ikut nimbrung.
Bumi Simalem kini, tinggal beberapa desa yang masih memiliki rumah adat, salah satunya Dokan. Masih tersisa lima rumah adat dan ini terbanyak di banding desa-desa lain. Kata Martunis yang menjabat Kepala Desa Dokan, empat rumah berkonsep Siwaluh Jabu, satu lagi Siempat Jabu.
Rumah mbelin, rumah sendi, rumah tengah, rumah mbaru dan rumah ketek, demikian warga menamai rumah-rumah tersebut. Sepanjang ingatan mereka, dulu ada 13 rumah adat di Desa Dokan. Perlahan roboh satu-persatu dimakan usia dan minim renovasi.
“Memperbaiki rumah adat bukan persoalan mudah, biayanya besar, sedang perhatian pemerintah masih minim,” kata Martunis dengan nada kesal.
Potret Jabu etnis Karo di Desa Dokan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. (Narendra)
Bantuan renovasi sudah berulang kali dimohonkan. Sayangnya hingga saat ini belum ada yang menyambut. Padahal, terkhusus rumah tengah kondisinya sangat memprihatinkan. Fondasi rumah nyaris rubuh, tinggal mengandalkan topangan kayu seadanya.
Raut kecewa tampak jelas di wajah Martunis. Kadang terbesit di pikirannya agar status Desa Dokan sebagai desa wisata sejak 1986 lalu dicabut saja. Dia mengaku malu jika wisatawan yang berkunjung justru melihat kondisi desanya samakin memprihatinkan.
“Padahal, hampir semua wisatawan mancanegara yang sampai ke Tanah Karo pasti berkunjung ke Dokan. Tapi kenapa belum ada perhatian?” gerutunya.
Dalam bahasa Karo, waluh artinya delapan, sedangkan jabu berarti rumah. Secara sederhana, rumah Siwaluh Jabu berarti rumah yang dihuni delapan kepala keluarga.
Masyarakat tradisional Karo menganggap Siwaluh Jabu bukan sekadar rumah biasa. Di dalamnya terdapat makna filosofis berisi kearifan dan kebijaksanaan. Membangun rumah adat sama artinya membuat rumah bagi roh-roh leluhur. Sejumlah ritual dan upacara yang kompleks diselenggarakan secara bertahap dan berurutan selama pembangunan. Mulai dari memilih lokasi, menyeleksi dan menebang pohon dan memotong kayunya, menegakkan kerangka rumah sampai menjalankan kehidupan berumah tangga. Semua proses dilakukan secara gotong royong.
Struktur bangunan Jabu Karo di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Tungku api harus tetap dinyalakan untuk menambah ketahanan bangunan. (Narendra)
Dilihat dari sisi arsitektur, material utama penyusun Siwaluh Jabu menggunakan kayu nderasi, atap menggunakan ijuk, rangka atap, teras dan tangga menggunakan bambu serta batu sebagai fondasi umpak. Fondasi umpak merupakan meredam guncangan lindu. Material kayu, teknik ikatan pasak dan kayu melintang yang mengikat antar tiang dirancang sedemikian rupa agar rumah adaptif jika terjadi guncangan.
Hirarki hubungan kekeluargaan dikaitkan dengan letak kayu rumah tersebut. Pangkal kayu yang dalam istilah setempat disebut bena kayu dihuni keluarga yang dianggap tetua, misalnya pendiri kampung. Sebaliknya, ujung kayu dihuni keluarga muda yang masih berkerabat dengan penghuni pangkal kayu.
Uniknya, ruang dalam rumah tidak memiliki dinding pembatas yang menyekat ruang dengan ruang tiap keluarga. Satu-satunya pembatas adalah pembatas tak terlihat berupa aturan adat istiadat yang kuat. Dengan sendirinya, ruang di Siwaluh Jabu memiliki nama dan aturan siapa saja yang harus menempati dan dipatuhi.
Masri Singarimbun dalam makalah seminar Pelestarian Rumah Adat Karo (1989) menjelaskan keunikan komposisi penghuni rumah adat masyarakat Karo. Jika umumnya rumah adat dihuni kelompok yang homogen berdasarkan garis keturunan, penghuni rumah adat Karo bukan unit yang homogen dari garis keturunan.
Siwaluh Jabu dihuni delapan keluarga, dibagi menjadi delapan unit. Pembagian serupa tidak ditemui pada rumah-rumah tradisional lain. Dalam struktur organsiasi sosial masyarakat Karo, dikenal istilah anak taneh (marga yang mendirikan kampung), serta ikatan-ikatan kalimbubu (pihak pemberi istri), senina (saudara segaris keturunan) dan anakberu (pihak yang menerima istri). Komposisi tersebut merupakan penghuni ideal dalam sebuah rumah adat.
Rumah Sendi di Desa Dokan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. (Narendra)
Saat berada di Dokan, kami meluangkan waktu mengunjungi rumah sendi. Tiang kayu besar terlihat menyangga atap ijuk yang sudah berlumut. Kayu yang melintang mengikat antar tiang menambah kekaguman atas pesona arsitektur rumah ini.
Dari atas ture (teras rumah), Pak Tambun dan istrinya, Ibu Tarigan dengan ramah mempersilakan kami masuk. Suasana akrab langsung terasa. Pak Tambun bercerita bahwa sejak menikah, dirinya sudah tinggal di rumah sendi.
“Hampir 30 tahunlah kami tinggal di sini,” katanya.
Uniknya, Pak Tambun dan keluarga tinggal di rumah adat dengan cara menyewa. Meski masih punya ikatan kerabat, mereka bukan keluarga inti pemilik rumah. Posisi jabu yang ditempati disebut ujung kayu, yakni bagian paling belakang rumah.
“Uang sewa kami Rp 600 ribu pertahun untuk dua jabu, posisinya di ujung kayu yang saling berhadapan ini,” katanya sembari menunjuk ruang yang disewanya.
Ia menjelaskan, aturan adat di dalam rumah memang tidak lagi seketat zaman dahulu. Misalnya tentang siapa yang bisa tinggal, berbagai aturan lain juga mulai beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun begitu, tetap saja tata krama dan nilai-nilai sopan santun harus dijaga penghuni rumah.
Pak Tambun mencontohkan, bagaimana tata cara dia berada di dalam rumah. Pantang baginya lalu lalang melintasi jabu yang bukan tempat mereka tinggal. Penghuni rumah pun saling menjaga ketentraman satu sama lain. Falsafah kebersamaan dan saling toleransi itu yang membuat Pak Tambun bisa menempati rumah ini hingga puluhan tahun.
Interior Siwaluh Jabu yang masih lengkap dihuni oleh masyarakat Karo di Desa Dokan, Kecamatan Merek. (Narendra)
Sehari-hari, suami-istri ini mencari nafkah dengan berladang. Begitu juga penghuni rumah lainnya. Wajar jika siang, rumah sepi.
“Nanti jam enam, baru rumah ini rame lagi. Pulang beladang, mulai itu masing-masing keluarga masak,” timpal sang istri.
Ibu Tarigan menambahkan, terdapat empat tungku perapian di dalam rumah. Meski proses memasak dilakukan bersamaan, asap yang mengepul dari tungku tidak membuat pengap, apalagi sesak nafas. Konstruksi atap dan bentuk tersek Siwaluh Jabu berupa segitiga meruncing merupakan jawaban lancarnya sirkulasi udara. Asap cepat mengalir ke atas lalu ditiup angin dari luar.
Rumah adat Karo syarat dengan elemen-elemen simbolik berupa ragam hias yang melekat pada rumah, disebut gerga. Letaknya berada di tiga bagian. Palang lantai rumah (melmelen), dinding rumah (derpih), dan anjungan atap rumah (ayo).
Fuad Erdansyah dalam jurnal berjudul Simbol dan Pemaknaan Gerga pada Rumah Adat Karo Di Sumatera Utara (2011), menjelaskan bahwa orang Karo tradisional menganut paham animisme, hinduisme yang berhubungan dengan kepercayaan pada roh serta daya-daya transenden di rumah dan lingkungan sekitarnya. Makna simbolik Gerga terkait dengan sistem kepercayaan dan kekerabatan yang menjadi dasar kosmologi tradisional mereka.
Desa Lingga
Berjarak sekitar 18 kilometer dari Desa Dokan, kita dapat menemui dua rumah adat tradisional Karo lainnya. Terletak di Desa Lingga, Kecamatan Simpangempat. Meski coraknya lebih cerah namun nasibnya tak jauh berbeda.
Rumah Mbelang Ayo di Desa Lingga. (Narendra)
Siwaluh Jabu di Desa Lingga diberi nama rumah Mbelang Ayo. Dibangun pada 1862, kini umurnya 158 tahun. Satu lagi, merupakan rumah adat sepuluh dua jabu. Isinya mampu menampung 12 keluarga. Namun sayang, sejak dua bulan lalu rumah sudah tanpa penghuni.
“Atapnya mulai bocor makanya para penghuni pindah dari situ,” kata Kepala Desa Lingga Lotta Sinulingga.
Sambil berjalan mengantarkan kami menuju rumah mbelang ayo, Lotta menjelaskan bahwa rumah tersebut masih dihuni penduduk desa. Isinya tinggal enam keluarga, bukan delapan seperti aslinya.
Arsitektur rumah sudah mengalami sedikit perubahan. Masing-masing jabu disekat menggunakan triplek. Begitupun fondasi rumah. Menyiasati agar tidak rubuh, cor semen digunakan untuk merekatkan fondasi umpak ke dalam tanah.
Padahal fondasi umpak itu yang membuat Siwaluh Jabu adaptif diterjang gempa. Semen yang mengikat tiang-tiang utama rumah bisa jadi telah menafikan kemampuan itu. Perubahan semakin terjadi saat proses renovasi yang digagas pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat pada 2009.
“Mau bagaimana lagi, fondasi kayunya udah hancur. Mau tak mau harus disemenlah. Dulu pun sempat juga mau disemen mereka tangga masuk itu tapi kita larang” ujarnya.
Lotta mengingat, saat ia kanak-kanak, terdapat sekitar 30-an rumah adat di Desa Lingga. Namun satu persatu roboh dan ditinggalkan penghuninya. Ia khawatir, nasib yang sama juga dialami rumah adat sepuluh dua jabu.
“Rumah adat kalau tak ditempati entah kenapa kayunya cepat lapuk. Bisa jadi karena tungku perapian tempat masak itu tak hidup, soalnya asap dari tungku itu yang bisa buat kayu makin kuat” kata pria berusia 50 tahun itu.
Upaya pelestarian Siwaluh Jabu memang mendapat tantangan berat. Zaman telah berubah. Beberapa tata aturan dalam rumah adat kiranya tidak lagi relevan dengan konteks sosial masyarakat sekarang. Rumah adat di Dokan dan Lingga barangkali segelintir yang selamat melawan waktu. Tentu bukan alasan untuk membiarkan karya arsitektur menakjubkan masyarakat Karo ini terbengkalai, hilang dan perlahan terlupakan.
1,106 total views