Foto aerial Tao Sidihoni yang bersanding dengan Danau Toba dan gagahnya Gunung Pusuk Buhit. (Fit Hartoyo)
Penulis dan Fotografer: Arjuna Bakkara
Anak-anak kecil itu berenang di sekitar Pamele-melean, Tao Sidihoni
Danau di atas Danau Toba yang disakralkan oleh masyarakat setempat
Sidihoni begitu melekat dengan leluhur orang Batak
Kelestariannya masih dijaga sampai sekarang
——
Sekumpulan anak – anak masih terlihat berenang dengan riang, saat saya datang ke Tao Sidihoni. Letaknya di Desa Sabungan Ni Huta, Kecamatan Ronggur Ni Huta, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara.
Anak-anak itu berenang di sekitar Pamele-melean, altar tempat berdoa kepada Maha Pencipta Debata Mulajadi Nabolon dan para leluhur. Anak lainnya yang lebih dewasa, menggembala kerbau-kerbaunya di sekitaran danau. Kerbau-kerbau itu juga terlihat minum dari Tao Sidihoni.
Masyarakat di sekitar memang masih memanfaatkan Tao Sidihoni sebagai sumber air. Mereka tetap menjaga keasrian alam di Sidihoni. Bahkan untuk bertingkah laku saja mereka tetap menjaganya.
“Setiap hari, kami mempergunakan air Danau ini. Baik untuk minum, mencuci, memandikan kerbau atau kebutuhan lainnya. Tapi, setiap hari juga kami mengucap syukur kepada Mulajadi Nabolon dan permisi “marsattabi” terhadap para leluhur pendahulu kami setelah mengambil air dari Tao ini,” ujar Nai Simsim Simare-mare, warga sekitar yang tengah beraktifitas di tepi danau.
Saya langsung disambut Ama Beni Nadeak dan Ama Suranta Simalango saat tiba di sana. Sambutannya sangat ramah. Keduanya merupakan penduduk asli yang turun temurun mendiami Danau Sidihoni.
Tao Sidihoni masih diopergunakan masyarakat untuk kegitn sehari-hari. (Arjuna Bakkara)
Cerita soal Sidihoni pun dimulai. Kata Ama Beni, Sidihoni tak serta merta sudah menjadi danau. Menurut penuturan para leluhur, Sidihoni dulunya adalah hutan yang rimbun.
Suatu masa, warga kampung kesulitan air. Saat itu juga lembah Sidihoni perlahan dipenuhi air. Kondisi ini juga yang membuat masyarakat tidak bisa lepas secara spirituil dengan Sidihoni. Danau dengan elevasi 1300 meter di atas permukaan laut juga tak terpisahkan dengan histori 4 marga utama di Tao Sidihoni.
“Sebelum adanya agama dari luar masuk, Sidihoni menjadi tempat oppung kami beribadah memanjatkan doa-doa kepada Tuhan Maha Pencipta Debata Mula Jadi Nabolon,” kata Ama Suranta Simalango.
Di masa kanak-kanaknya, Ama Suranta kerap melihat oppung mereka memelihara tradisi di Sidihoni. Salah satunya adalah Mangarsak Lambe. Tradisi ini dilakukan dengan tabuhan gendang sehari semalam tanpa henti.
Dalam prakteknya, tradisi ini berarti mengucapkan syukur kepada Yang Kuasa karena sudah melimpahkan hasil panen. Warga kampung akan serentak membawa hasil bumi dan ternak sebagai persembahan.
Di sekitar Sidihoni, bale-bale didirikan. Untuk tempat sesajian para leluhur. Termasuk kepada penguasa-penguasa yang mereka yakini sebagai wakil tuhan secara gaib di Alam Sidihoni.
Secara khusus, puji-pujian disampaikan kepada Namboru mereka Sittalahi. Ama Suranta pun memulai cerita turun temurun yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat.
Namboru Sittalahi merupakan saudara perempuan Ompu Tuan Binur yang merupakan leluhur empat marga. Keempat marga itu antara lain, Simalango, Saing, Simarmata dan Nadeak. Ompu Tuan binur sendiri adalah leluhur mereka yang juga bersaudara dengan induk Marga Parna lainnya.
Tujuh mangkok cawan “Pamele-melean” di altar persembahan sebagai tanda melekatnya hubungan masyarakatnya dengan Tao Sidihoni dan leluhur mereka. Letaknya di Timur Tao Sidihoni. (Arjuna Bakkara)
Namboru Sittalahi sendiri sebenarnya berada di Ria Ni Ate Pangururan. Namun, ketika Tuan Binur ke Sidihoni namboru mereka Sittalahi mengikutinya.
Ama Beni Nadeak menimpali, sejak itu jugalah Namboru Sittalahi mulai diseru dan dipuja dalam doa-doa mereka di sana secara turun temurun hingga generasi saat ini.
Satu ketika, di Sidihoni digelar satu hajatan besar dan Ama Beni mengikutinya. Dia awalnya tidak begitu acuh dengan berbagai ritual yang ada. Namun saat itu warga meyakini, roh Namboru Sittalahi masuk ke tubuh orang yang dipilihnya. Lalu, orang tersebut mendatangi Ama Beni. Dia dijemput agar bisa ikut dalam acara yang sedang digelar.
Misteri pun terjawab. Mereka memaknai, itu adalah bentuk kerinduan Sittalahi kepada para hula-hula (kelompok marga istri). Ama Beni Nadeak ternyata salah satunya.
“Namboru Sittalahi meminta sampai 3 gondang. Dia berkata, kami akan memperoleh kesehatan dan berkecukupan. Dan nyatanya, sampai sekarang kami sehat-sehat dan berkecukupan di sini,” ungkap Ama Beni.
Dengan dinamika sosial yang ada, saat ini hajatan besar di Sidihoni sudah jarang digelar. Masyarakat takut dilabeli stigma buruk dan dianggap melenceng dari agama atau dianggap sebagai sipele begu.
Kerbau milik masyarakat yang digembala dekat Tao Sidihoni. (Arjuna Bakkara)
Sebelum agama Abrahamik masuk, para leluhur Batak, lanjut Ama Beni, sudah Bertuhan. Prakteknya ditunjukkan dengan berbagai ritual yang ada. Meski begitu, secara pribadi mereka tetap mensakralkan Tao Sidihoni sampai hari ini. Orang-orang dari luar juga masih datang ke Sidihoni untuk berdoa.
Hajatan gondang yang terbesar terakhir kali digelar pada 2006. Sebelumnya, saat Tsunami menerjang Aceh pada 2004, Tao Sidihoni mengering. Gondang dilaksanakan untuk memohon kepada Debata Mula Jadi Nabolon dan para leluhur agar airnya kembali terisi.
Sebelum bencana Tsunami, ternyata Sidihoni sudah memberikan tanda. Air yang semula biru, berubah menjadi keruh.
Memang, perubahan warna bukan saja karena Tsunami Aceh. Jauh sebelum itu, perubahan warna air Tao Sidihoni memang selalu menjadi tanda bagi penduduk di sana.
Ama Suranta melanjutkan, Tao Sidihoni juga bisa berubah warna. Perubahan warna ini pun dimaknai sebagai pertanda akan terjadi sesuatu. Bisa pertanda baik, atau pun buruk.
Jika air Sidihoni jernih, volumenya penuh dan sedikit membiru, itu merupakan pertanda baik. Masyarakat akan makmur, dengan hasil tani berlimpah. Termasuk ternak-ternak yang semakin gemuk.
Vice General Manager Toba Caldera Geopark Gagarin Sembiring menjelaskan, pembentukan Sidihoni menjadi danau tidak berkaitan lagi dengan proses erupsi Toba. Sidihoni terbentuk bersamaan dengan terangkatnya Samosir.
Sidihoni, terletak akibat pembentukan sistem cekungan dampak dari patahan lokal hasil kegiatan tektonik. Lalu, pada saat cekungan terbentuk, terjadi pelarutan-pelarutan. Endapan danau pun ada yang bersifat lempung kedap air. Endapan batuan lempung tersebut menjadi penahan air yang melapisi cekungan. Proses pelapisan ini mampu menampung air hujan dengan proses meteroid.
Masyarakat masih meyakini, perubahan warna pada Tao Sidihoni berarti sebagai pertanda dari alam. (Arjuna Bakkara)
“Karena sifat dasarnya dari endapan batuan lempung mampu menahan air, maka air tidak lagi merembes ke luar,” ujar Gagarin.
Soal perubahan warna itu, Gagarin pun melihatnya hal yang lazim pada fenomena geologi. Faktor lain yang menyebabkan perubahan itu karena adanya erosi-erosi kecil. Sebab endapan lempung kedap air memiliki ukuran butir yang sangat halus. Karena halusnya endapan maka tidak lolos air, dan menyerupai semen.
“Danau ini harus dijaga agar tidak terjadi erosi, sehingga menimbulkan endapan-endapan lain,”sebut Gagarin.
Warna keruh timbul ketika kadar material dalam air terjadi proses sedimentasi. Proses sedimentasi ini tentu mengakibatkan kepadatan larutan yang memberi warna pada air.
Biasanya, kata Gagarin adanya perubahan warna juga tergantung keadaan lingkungannnya. Semisal, bila berada pada lingkungan gambut warna airnya akan memerah. Demikian juga dengan Air Danau Sidohoni, dengan banyaknya jumlah lumpur maka air menjadi keruh kecokelatan.
“Itu saja sebenarnya yang memengaruhi kalau untuk di Sidihoni karena dia tidak ada kimia apa-apa itu,”terang Gagarin.
Faktor lainnya adalah arus angin yang mengakibatkan ombak embuat guncangan air hingga ke dasar. Endapan lempung yang bercampur lumpur teraduk dan menjadikan warna berubah dari biru cerah menjadi keruh kecokelatan.
Secara Geografis, Tao Sidihoni tepat berada di Dataran Tinggi Pulau Samosir dengan titik koordinat N 02 36’01,9″ E98 44’49,9”. Sebutan Danau di Atas Danau memang bukan sesuatu yang dilebih-lebihkan, karena memang Danau ini berada di Atas Pulau Samosir, sebagaimana Pulau Samosir sensiri berada di Atas Permukaan Danau Toba.
Tao Sidihoni bisa ditempuh dari Jalur Darat yakni Via Tele lalu menuju jalan lintas Pangururan-Ronggur Ni Huta-Tomok. Bila dari Muara Tapanuli Utara, pengunjung bisa naik KMP Muara Putih tujuan Samosir dan sandar di Dermaga Sipinggan Kecamatan Nainggolan dan lanjut ke Kota Pangururan.
Lalu jalur lain, dari Kabupaten Toba menaiki fery penyeberangan reguler yang sandar di Kecamatan Onan Runggu. Dan sebaiknya memilih melintas dari Simanindo-Ambarita-Tomok. Bila dari Muara Tapanuli Utara, pengunjung bisa naik KMP Muara Putih tujuan Samosir dan sandar di Dermaga Sipinggan Kecamatan Nainggolan.
Sedangkan dari Kabupaten Toba ada dua pilihan, yakni menaiki fery penyeberangan reguler yang sandar di Kecamatan Onan Runggu. Kemudian dari Dermaga Ajibata tujuan Tomok-Ambarita, dan juga dari Kabupaten Simalungun dari Pelabuhan Tiga Ras Dermaga Simanindo.
Bila ingin menikmati sejuknya Hutan Pulau Samosir, pengunjung bisa mengambil jalur dari Tomok. Lalu menanjak terus mengikuti jalan lingkar Samosir dengan jalan berliku sambil menatap panorama Danau Toba.
Tiba di Desa Parmonangan jangan terlena dengan suguhan tebing-tebing kaldera Toba. Ingat memasuki simpang Ronggur ni Huta jalur alternatif menuju Pangururan.
Sepanjang jalan jangan terkejut berpapasan dengan sekawanan kerbau di pinggir jalan. Meski di tengah hutan ternak-ternak itu bukanlah kerbau liar dan ganas.
Jaket tebal harus disediakan, karena perjalanan harus menembus hutan yang dingin. Setelah melewati beberapa perkampungan, ladang, lalu mendapati tanah lapang dengan savana itu pertanda sudah tiba di area Sidihoni.
Asalkan menjaga norma dan sopan santun, bersantai di Sidihoni adalah pilihan yang tepat. Mengitari lingkaran Danau, akan bertemu dengan warga-warga yang ramah, sambil melihat “pamele-melean” di sebelah Timur Danau Sidihoni.
1,198 total views